Rumah Sakit ini terletak diujung paling
barat Indonesia, berada tepat di Jantung Kota Sabang, Pulau Weh Propinsi Aceh.
Bedasarkan sumber inventerisasi Badan Suaka dan Pubakala Aceh (1997),
berdirinya Rumah Sakit di Sabang ini tidak lepas dari sejarah perjuangan rakyat
Aceh menghadapi Belanda. Sejak akhir abad ke 19 Belanda terus berupaya untuk menaklukkan
Aceh, akan tetapi selalu mendapatkan perlawanan dari pejuang-pejuang Aceh,
hingga akhirnya sering mengalami kekalahan dan Belanda mendirikan basis pertahanan
awal di kepulauan yang berada di luar Aceh, yang dikenal sebagai Pulau Weh
RS
TNI AL J.Lilipory tidak terlepas dari Rumah Sakit Jiwa Sabang. Tahun 1904
Belanda mulai membangun Rumah Sakit Jiwa Sabang oleh Sabang Maskapai
(Perusahaan Belanda pengelola Sabang sejak tahun 1895) dan baru selasai tahun
1919, difungsikan tahun 1920, dengan muatan politis. Sabang merupakan Free Port
(Pelabuhan Bebas) yang sangat modern, sehingga memungkinkan pembangunan rumah
sakit ini dari bahan-bahan kualitas terbaik yang didimpor dari Kesultanan Deli
dan Jawa.
Belanda sengaja membangun suatu tempat diberi label Rumah Sakit jiwa.
Hal ini dilakukan untuk mematahkan semangat pejuang mujahid Aceh. Belanda
sengaja menangkap para mujahid Aceh, mengikuti saran Dr. Snouck. Beliau
adalah salah satu orientalis Belanda yang sangat ahli dan mendalami tentang
Islam sampai ke Mekkah. Bahkan dia mengaku muslim, menunaikan Ibadah Haji, mahir
berbahasa Arab dan memiliki nama Muslim Haji Agus Salim. Namun sesungguhnya Dr.
Snouck menggunakan keahliannya itu untuk menaklukkan pejuang Aceh dengan melemahkan
dari sisi budaya, social dan nilai regligiusitas yang dimiliki masyarakat Aceh.
Dan salah satu wujud strategi Snouck adalah mendirikan Rumah Sakit Jiwa
Terbesar diwilayah yang dikuasai Belanda.
Dimasa itu diklaim sebagai Rumah
Sakit Jiwa terbesar se Asia Tenggara. Dokter terakhir yang menjadi Kepala Rumah
Sakit Jiwa adalah Dr. Coelon, beliau tidak mau berkompromi dengan pihak Jepang.
Akhirnya beliau ditangkap dan dipancung oleh Jepang di gampong Bateeshok
Seorang saksi sejarah yang bernama Bapak
Poniman Sareh, seorang mantan pegawai Sekertariat Negara (Setneg) di
era Bung Karno dan di tahun 1968 kembali ke Sabang dan mengabdikan diri sebagai
guru sejarah di Sabang sampai tahun 1997, menurut beliau setelah dr. Coelon
wafat oleh bala tentara Jepang, pasien RSJ seluruhnya dipindahkan ke Pulau
Rubiah, beberapa waktu kemudian dipindahkan lagi ke tanjung rambutan.
Dimasa itu, setelah wafatnya dr. Coelon,
juru medis atau bintara kesehatan yang mewakili beliau di rumah sakit tersebut
juga tidak menyerah. Dari seorang KNIL (pasukan tentara Belanda/eropa) dia
membelot dan berpihak pada tentara republic. Beliau adalah Johanes Lilipory,
seorang warga keturunan Ambon yang mendarma baktikan perjuangannya untuk
memberikan pelayanan kesehatan di kota Sabang.
Johanes Lilipory memutuskan untuk
bergabung dengan para pejuang Aceh, memberikan bantuan medis, pelayanan
kesehatan bagi pejuang Aceh. Itulah sebabnya maka hingga saat ini sosok RSAL
J.Lilipory Sabang sangatlah dekat dengan masyarakat Sabang. Antara lain karena
terjalin ikatan historis,psikologis dan moral yang kuat antara sosok Johanes
Lilipory dengan pengabdiannya bagi masyarakat Sabang.
Diawal tahun 1950, berdasarkan SK Dephan
(Sri Sultan Hamengkubuwono IX) TNI AL masuk diwilayah Sabang dan merubah RS
Jiwa Belanda yang juga barak tentara Jepang dilahan 25 hektar menjadi Barak
Militer TNI AL Sabang dan sebagian sebagai klinis medis yang akhirnya berubah
menjadi Rumah Sakit TNI AL. Oleh karena dedikasi bintara kesehatan J.Lilipory
maka RSAL Sabang diberi nama RSAL J.Lilipory pada tanggal 27 Maret 2007 oleh Dan
lantamal I Laksma TNI Sadiman SE.
Sumber :
Anggota Komunitas pemerhati sejarah
Sabang/SHS
(Sabang Heritage Society)